Bicara soal perkembangan Indonesia hari ini dan ke depan,
masih begitu banyak yang tak hentinya mesti kita bahas dan mesti kita selesaikan baik itu dari sektor ekonomi, budaya, sosial-politik, hukum, dan tak luput pula dari sektor kelautan, dimana negara
kita terdiri dari tujuh belasan ribu pulau yang perlu banyak sumberdaya manusia
untuk mengeksekusinya.
Suatu kesyukuran besar bagi kita masyarakat Indonesia,
sebab di kawasan indo-pasifik, terdapat gugusan segitiga karang (coral triangle) yang tentunya sangat
terkait secara ekologi dengan ekosistem pesisir dan laut di seluruh dunia.
Mengandaikannya sebagai kawasan hutan Amazona di Amerika Selatan sekaligus
merupakan hutan tropis terluas di dunia, maka Indonesia menjadi bagian dari kawasan
coral triangle yang menjadi pusat
dari ekosistem terumbu karang yang ada di seluruh permukaan bumi ini. Indonesia
sendiri menjadi kawasan terbesar kedua setelah Australia untuk luasan terumbu
karangnya. Sungguh menakjubkan.
Apa itu
terumbu karang dan permasalahan apa yang dihadapinya?
Secara umum,
terumbu karang ialah ekosistem yang begitu khas di laut tropis, yang merupakan
kumpulan koloni dari hewan penghasil zat kapur yang menjadi penghalang atau
benteng bagi pesisir dari hempasan gelombang laut, dapat juga dikatakan terumbu
karang sebagai rumah bagi sekian banyak organisme laut.
Sebenarnya, ekosistem ini sangat memberikan manfaat
ekonomi bagi masyarakat Indonesia, baik sebagai sumberdaya perikanan maupun
sebagai tempat wisata bahari. Namun karena pelaksanaan sosialisasi dari pemerintah dan LSM terkait yang kurang efektif serta minimnya kesadaran bagi masyarakat itu sendiri, mengakibatkan
terjadinya degradasi lingkungan bahari yang begitu signifikan.
Selain daripada
rusaknya lingkungan secara alami, negara kita dalam pembangunannya yang semakin
hari semakin meningkat, menjadi faktor yang memberi peran khusus pada kemerosotan nilai lingkungan atau biasa disebut sebagai ancaman antropogenik. Dalam hal
ini, Indonesia dapat juga dikatakan sebagai salah satu penyumbang besar dari rusaknya
lingkungan alam di dunia.
Berbagai sektor yang terkait dengan isu lingkungan, baik
dari pemerintah ataupun LSM (lokal/internasional), telah berbondong-bondong
mengoroyoki masalah ini, namun karena luasnya wilayah laut dan pesisir serta
kurangnya sumberdaya yang benar-benar idealis tanpa mementingkan dirinya
sendiri, menjadikan solusi dari permasalahan ini terkesan monoton atau tak
bergerak.
Tidak jauh dari tempat tinggal kita misalnya, di
Kepulauan Spermonde yang terdiri dari ratusan lebih pulau baik berpenghuni
maupun tidak, nyatanya masih juga belum teregulasi dengan baik dari segi konservasi
ekologi karangnya.
Dari hasil pembicaraan ke beberapa nelayan dan dari pulau
yang berbeda, salah satunya Pak Naim dari pulau Pala mengatakan, bahwa masih
ada beberapa pulau di Kepulauan Spermonde yang nelayannya masih menggunakan
alat penangkap ikan yang ilegal, seperti bom dan bius. Juga para nelayan dari luar
Makassar, seperti dari Selayar, Kalimantan, dan bahkan dari Madura, juga
melakukan tindakan yang sama merusaknya di beberapa tempat di Spermonde.
Kita mesti pahami bahwa ilegal fishing dengan cara mengebom, dapat merusak ekosistem karang secara massal dan dengan sekejap. Dapat
kita bayangkan, pertumbuhan karang yang sangat lambat, yang membutuhkan
beberapa tahun untuk kemudian membentuk terumbu, dihancurkan oleh banyak
nelayan pengebom dalam beberapa detik saja. Selain itu, pengeboman yang brutal
dapat membunuh ikan indikator yang perannya
sebagai penentu dari kesuburan terumbu karang. Biasanya hanya ikan target atau
ikan yang bernilai ekonomis saja yang mereka ambil, sedangkan ikan mati lainnya
yang tidak bernilai ekonomis (ikan-ikan kecil) dibiarkan begitu saja. Atau
diambil beberapa yang masih memungkinkan untuk mereka konsumsi secara pribadi
dirumah mereka.
“Kami tahu kalau
mengebom itu dilarang, tapi kalau tidak seperti itu, keluarga kami mau makan
apa? Apakah pemerintah mau membiayai kami untuk membeli alat penangkap yang
halal?” Kata Daeng Ila dari pulau Karanrang dengan dialeg Makassar yang
mengakui masih melakukan ilegal fishing
dengan cara mengebom maupun dengan cara bius.
Sungguh disayangkan, Kepulauan Spermonde yang sebagiannya berada dalam
garis batas Kota Makassar, yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan,
belum maksimal dalam penertiban ataupun pembinaan kepada para nelayan
berpengetahuan minim akan sadar ekologi ini. Pun jika nelayan ini tertangkap,
tak jarang diantara mereka hanya membayar dengan uang dan memberi sedikit hasil
jarahan ikannya, kemudian dilepas kembali begitu saja tanpa ada sanksi serius disertai
bimbingan moral maupun solusi yang mengarah pada nilai konservatif. (*)